Tujuan
Pembelajaran
1. Menjelaskan
unsur-unsur intrinsik cerpen
2. Menulis
resensi b uku kumpulan cerpen berdasarkan unsur-unsur resensi
3. Mengomentari
pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
A.
MEMBACA
Sebagaimana novel, cerpen juga dibentuk
atas unsur ekstrinsik dan intrinsik. Meskipun bantuknya pendek, bahkan ada yang
hanya satu halaman, di dalamnya terdapat unsur-unsur secara lengkap, yaitu
tema, amanat, tokoh, alur, latar, sudut pandang pengarang, dan dialog.
Katurangan
Tiba-tiba
saja sudut Pasar Rebo itu menjadi gempar. Kencing, burung perkutut yang
setengah jam lalu dunyatakan sebagai pemenang konkurs, di tempat itu, terlepas.
Bukan Cuma seorang pangeran dari Solo – yang konon pemiliknya – saja menyesali
kejadian itu, tetapi hampir semua peserta dan penonton konkurs juga berlaku
demikian.
Marto Manuk
bersama Wagiyo yang tak sempat melihat persisnya kejadian itu karena baru makan
di warung, Cuma bisa menyaksikan sisa kejadian itu. Seorang laki-laki gagah
setengah gemuk berusia empat puluhan, tampak pucat dan berkali-kali melap
keringat pada dahi dan lehernya dengan sapu tangan setengah kumal. Di
sekelilingnya, wajah-wajah muram penuh belasungkawa ikut menyesali kejadian
itu.
“Tadi telah ditawar lima juta,”
bisik seorang bertopi kulit dekat Marto Manuk.
Orang-orang mengalihkan pandangan
terpana pada orang bertopi tadi, tanpa kecuali
si orang gagah pemiliknya.
“Yah, tapi berapapun tawarannya,
saya takkan menjualnya,” orang gagah berucap dan memelototi si topi kulit
dengan pandangan tak suka. “Jaga mulutmu! Jangan nyerocos macam perempuan
saja!”
Ia
memandangi sekeliling.” Saya berjanji menebusnya, .... dua juta.
Orang gagah itu merogoh sakunya, Ini
alamat saya, “katanya kemudian sambbil mengedarkan secarik kertas. Marto Manuk
selaku pedagang plus pemikat burung, tak ketinggalan melongok kertas kecil
kartu nama itu.
*****
SANGKAR yang
tergantung di serambi itu ada sepuluh. Seperti biasa Marto Manuk pagi itu
memilih lima buah sangkar saja. Namun, pun begitu, kesepuluh sangkar itu dilongoknya
datu per satu untuk meneliti kalau-kalau ada umpan yang tinggal sedikit ataupun
tumpah. Kemudian dirakitnya kelima sangkar itu pada sepedanya. Dan ketika ia
melangkah keluar dengan sepedanya, tiba-tiba saja ia seperti tersandar dari
mimpi. Dengan tergesa-gesa ia senderkan rakitan dagangan bersama sepedanya itu
di bawah pohon sawo halaman rumahnya. Mendadak saja benaknya ingat peristiwa
kemarin.
Apa saja yang
kemudian dilakukan ialah mengedarkan matanya dan menajamkan telinganya ke
berbagai arah. Ya siapa tahu di antara suara kicau burung di pagi itu terdengar
Kencling yang menjadi buron. Berdasar pengalaman dan firasat sebagai pemikat
burung ia tahu, bahwa burung piaraan yang terlepas dua tiga hari akan menjadi
tutut dan turun ke tanah karena lapar tidak biasa mencari makan sendiri. Dan
lagi kampung di mana ia tinggal adalah satu-satunya kampung terdekat yang masih
hijau karena banyaknya tanaman rimbun yang besar-besar.
Ah, jangan
tanya. Jika ia melihat burung itu, mesti didapatnya. Percuma ia sampai bergelar
Marto Manuk. Yang berarti Marto Burung.
Kemudian ia
berjalan dengan mendongak ke atas, mengawasi tiap ujung-ujung ranting, tiap
pelepah kelapa, atau bahkan gerumbul yang rendah, kalau-kalau burung buruannya
ada di sana. Hampir setengah jam ia lakukan itu, tapi tak menghasilkan tanda
sekecil pun akan keberhasilannya. Dengan kecewa, ia kembali mendapati
dagangannya.
“Kang.”
Tiba-tiba saja
Dirsan adiknya yang tinggal di ujung desa dekat sawah telah ada di belakangnya.
“Ee, kadingaren. Sepagi ini kamu kemari,
Ada perlu penting?” sambut Marto Manuk sambil mengajak adiknya itu duduk pada
sebuah lincak di emperan.
“Soalnya saya
takut Kang Marto telah berangkat ke pasar.”
“Lha iya, ada
apa?”
“Saya dapat
burung, Kang. Perkutut.”
Dirsan dengan
hati-hati mengeluarkan binatang temuannya dari kantung gandum yang
digenggamnya.
“Ini,” katanya
kemudian.
SEKETIKA
tersirap darah Marto Manuk ketika melihat burung di tangan adiknya. Oa melotot
seperti orang bengong. Tak pelak lagi, burung sebagus di tangan adiknya itu
bukan burung sembarangan. Keyakinannya timbul, ini mesti si Kencling jang jadi
buron.
“Coba lihat,”
kata Marto Manuk sambil mengulurkan tangan. Binatang itu pun segera berpindah
tangan.
Ketika ia
mengamati cucuk, ules, maupun kaki
burung itu, keyakinan Marto Manuk semakin bertambah. Terdorong oleh jiwa
bisnisnya, muncullah seribu akal
untuk menguasai burung itu. Terbayang sudah tumpukan puluhan ribu dua ratus
lembar di depan matanya. Dan rasanya jalan ke arah itu sungguh mulus. Dirsan
adiknya tidak tahu-menahu soal burung.
“Maksudmu burung
ini mau kamu jual?” tanya Marto Manuk dengan nada datar untuk menyembunyikan
perasaannya. Namun, tak urung degup jantungnya makin memacu.
“Tidak, Kang,”
sahut Dirsan. “Soalnya, entah mengapa, rasanya saya jatuh hati pada burung ini
begitu menangkapnya. Aku ingin memeliharanya, Kang.”
Sesuatu terasa
mengganjal di dada Marto Manuk. Ia menghela nafas. Diputarnya benaknya untuk
mencari seribu akal bulus. Tapi,
dalam singkatnya waktu, ia begitu sulit untuk menemukannya. Maka yang terjadi
adalah luapan sedikit amarah tanpa disadari.
“Lalu apa
maksudmu membawa burung ini pagi-pagi ke mari?” tanya Marto Manuk sengol. Dan memang sengol sungguhan. “Mau pamer?!” Tanpa sadar Marto Manuk menampakkan
tidak senangnya.
“Ah, bukan
begitu, Kang.” Dirsan merasa serba salah. “Akang kan ahli burung. Saya Cuma mau
tanya, burung ini bagus apa tidak, bagaimana kalau sekiranya kupelihara.”
“Ah, orang macam
kamu nggak usah neka-neka pelihara burung segala. Jangan jangan binatang itu
malah mati karena kau lupa memberi makan. Kan menyiksa namanya,” sergah Marto
Manuk menyanggah keinginan adiknya.
DIRSAN tepekur.
Boleh jadi akangnya ini menilai burung temuannya cukup berharga. Segala jawaban
yang diberikannya serba sengol, tak
enak. Dan terbitlah di hati Dirsan untuk menjajaginya.
“Semisal dijual,
Akang berani membayar berapa?”
Wajah Marto
Manuk berubah seketika. Di dadanya gemuruh oelh degup jantungnya yang kian
memacu. Senyumnya mengambang.
Senyum bisnis.
“Kemarin kubeli juga burung macam punyamu itu dua puluh lima ribu, untukmu
hitung-hitumh membantu saudara ku bayar tiga puluh ribu.”
“Wah, Akang
berani tiga puluh ribu? Kalau begitu, burung ini cukup bagus ya, Kang? Saya jadi
lebih berhasrat untuk memeliharanya. Maaf, Kang, Saya sungguh tak bermaksud
menjualnya. Lha wong barang temuan,
kok dijual.” Jawaban Dirsan yang demikian itu di luar dugaan akangnya. Wajah Marto Manuk menegang.
Menahan marah dan kekecewaan. Ia merasa tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal
di dadanya. Ia menghela napas. Ia sungguh tak mengerti mengapa adiknya ini
menolak kebaikan yang ia berikan. Tiga puluh ribu sebenarnya amat berarti bagi
adiknya, yang Cuma buruh tani.
Sementara tangan
kanan Dirsan mengembang manolak tiga lembar puluhan ribu, dan tangan kirinya
meminta burung itu kembali. Dan saat burung itu kembali ke tangan adiknya
lenyap pula bayangan dua juta di mata Marto Manuk.
“Oh, ya Kang.
Burung ini katuranggan-nya apa?” tanya Dirsan kemudian.
“Ah, persetan
dengan katuranggan burungmu itu. Aku telah kehilangan waktu percuma dengan
burungmu. Seharusnya aku telah sampai di pasar dan dapat uang!” sengak jawaban
Marto Manuk.
Marto Manuk
melangkah panjang menuju sepedanya. Sedangkan, Dirsan pulang dengan senyum puas
karena yakin perkutut temuannya itu bukan burung sembarangan.
TAPI, bukan
Marto Manuk namanya jika ia putus asa sampai di situ. Ia telah dikenal begitu
sabar ketika sedang memikat burung. Selama dalam perjalanan benaknya terus
mancari daya upaya. Dan saat ia membelokkan sepedanya di pintu pasar, sebuah
akal bulus mencul di benak Marto Manuk. Katuranggan,
Ya Katuranggan. Aku harus cepat-cepat
menemui Wagiyo!
“Kita ada objek
besar,” bisik Marto Manuk sesaat setelah sampai di kios Wagiyo.
“Nggak usah
mimpi. Kita pedagang burung, bukan pemborong. Mana ada objek besar?” Wagiyo tak
acuh sambil menyulut rokoknya.
“Kalau saya
bilang Si Kencling yang lepas kemarin, apa itu bukan objek besar?”
“Ya, kau
melihatnya, Kang?”
“Bukan Cuma itu,
malah sudah dalam kurungan sekarang.”
“Hah?” Wagiyo
terkejut. “Tidak percuma orang marabi
sampeyan Marto Manuk.” “Saya belum selesai ngomong. Si Kencling sudah ada dalam
kurungan, tapi bukan kurunganku!”
“Oh, ya, ya.
Lantas di mana sampeyan melihat?”
“Dalam kurungan
Dirsan, adikku”. “Wuih, bagus. Dia kan nggak tahu-menahu soal burung?”
“Bagus dengkulmu.” Marto Manuk menjawab
mangkel. “Saya perlu nyambat kamu.
Kita joint.”
Wagiyo tertawa
ngakak. Dalam perasaannya, kawan sekerjanya ini ada-ada saja. Namun, ia tentu
saja tak menolak tawaran berduit itu, “Bagaimana?” tanyanya kemudian.
Marto Manuk
lantas bercerita panjang lebar mengenai peristiwa tadi pagi di rumahnya.
Komplet, sampai dengan masalah Katuranggan
yang masih tersisa. Dan memang Katuranggan
itulah yang kini sedang mereka olah.
“Nanti sore kau
ke sana. Katakan saja Katuranggan-nya
rajapati. Terangkan apa artinya serta bujuk agar ia mau menjualnya saja.
“Baik, Kang.
Lantas jika ia masih menolak?”
“Itu bagian
saya. Saya akan membujuk lewat isterinya. “Hebat otak sampean. Memang perempuan
paling mudah ditakut-takuti...” kata Wagiyo puas sambil menepuk-nepuk pundak
rekannya.
Jam tujuh
sebelum ke pasar, Marto Manuk telah siap. Ia ingin segera ke rumah Dirsan
Adiknya untuk melihat hasil karyanya. Dan ketika melangkah ke luar, seseorang
telah berdiri di muka pintu rumahnya.
“Oo, Santayib.
Ada perlu apa?”
“Lho sampean kok
sudah siap-siap. Ke pasar?”
“Tidak, saya
berniat ke rumah Dirsan.”
“Lho, sampean
sudah tahu, to?”
“Tahu apa?”
“Dirsan adik
sampean itu meninggal.”
“Yang bener kamu ngomong!” Marto Manuk setengah berteriak karena terkejut. Napasnya
memburu. Ia berharap apa yang didengarnya itu Cuma dalam mimpi.
“Bener, Kang.
Saya ke sini disuruh Wak Kasim Mertua Dirsan memberi tahu hal ini,” Santayib
meyakinkan. “Ini semua gara-gara perkutut,” sambung Santayib. “Perkutut?”
“Ya, Wagiyo
kawan sampeyan itu sudah memperingatkan bahwa perkutut temuannya itu katuranggan-nya rajapati. Berbahaya.
Kabarnya Cuma orang berpangkat yang sanggup memeliharanya. Kabarnya malah sampean telah menawar tiga puluh
ribu...”
“Isterinya
sangat percaya sama omongan Wagiyo. Sepulangnya dari itu, si Pinah, ipar
sampean itu bersikeras agar menjual saja burung itu. Dirsan tidak
memperbolehkan. Terbawa oleh ketakutan yang makin memuncak binatang itu dilepas
si Pinah tadi malam. Tapi, rupanya burung itu berjodoh dengan Dirsan, terbukti
pagi harinya binatang itu tidak terbang jauh. Burung itu bertengger di pucuk
bambu dekat pohon kelapa, di depan rumahnya. Dengan membawa kemarahan, Dirsan memanjat
pohon kelapa itu untuk mendapatkan burung itu kembali. Dan itulah, karena
begitu bernafsunya ia pada burung itu hingga ia terpelesat dan jatuh.”
“Oh,
Astaghfirullah,” desis Marto Manuk tertahan.
Tiba-tiba,
terasa ada sebuah beban, yang amat berat menimpa pundak Marto Manuk. Ia
membayangkan kelima kepodakannya yang merengek, iaprnya yang meraung-raung dan
menjadi janda. Oh, semua itu karena keserakahannya. Ia sempatkan mendongakkan
wajah ke berbagai arah.
Katika
orang-orang sibuk memandikan mayat, terdengar suara anggung perkutut begitu
mempesona. Namun, Cuma Marto Manuk yang matanya jelalatan. Di pucuk trembesi, ia melihat Kencling, burung
buron itu bertengger dengan angkuhnya.
(Dikutip dari kumpulan Cerpen Pelajaran
Mengarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar