Senin, 29 Juli 2013

materi bahasa indonesia bab vi kelas xii sma



Tujuan Pembelajaran
1.      Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen
2.      Menulis resensi b uku kumpulan cerpen berdasarkan unsur-unsur resensi
3.      Mengomentari pembacaan puisi lama tentang lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.
A.      MEMBACA
Sebagaimana novel, cerpen juga dibentuk atas unsur ekstrinsik dan intrinsik. Meskipun bantuknya pendek, bahkan ada yang hanya satu halaman, di dalamnya terdapat unsur-unsur secara lengkap, yaitu tema, amanat, tokoh, alur, latar, sudut pandang pengarang, dan dialog.
Katurangan
Tiba-tiba saja sudut Pasar Rebo itu menjadi gempar. Kencing, burung perkutut yang setengah jam lalu dunyatakan sebagai pemenang konkurs, di tempat itu, terlepas. Bukan Cuma seorang pangeran dari Solo – yang konon pemiliknya – saja menyesali kejadian itu, tetapi hampir semua peserta dan penonton konkurs juga berlaku demikian.
Marto Manuk bersama Wagiyo yang tak sempat melihat persisnya kejadian itu karena baru makan di warung, Cuma bisa menyaksikan sisa kejadian itu. Seorang laki-laki gagah setengah gemuk berusia empat puluhan, tampak pucat dan berkali-kali melap keringat pada dahi dan lehernya dengan sapu tangan setengah kumal. Di sekelilingnya, wajah-wajah muram penuh belasungkawa ikut menyesali kejadian itu.
            “Tadi telah ditawar lima juta,” bisik seorang bertopi kulit dekat Marto Manuk.
            Orang-orang mengalihkan pandangan terpana pada orang bertopi tadi, tanpa kecuali  si orang gagah pemiliknya.
            “Yah, tapi berapapun tawarannya, saya takkan menjualnya,” orang gagah berucap dan memelototi si topi kulit dengan pandangan tak suka. “Jaga mulutmu! Jangan nyerocos macam perempuan saja!”
Ia memandangi sekeliling.” Saya berjanji menebusnya, .... dua juta.
            Orang gagah itu merogoh sakunya, Ini alamat saya, “katanya kemudian sambbil mengedarkan secarik kertas. Marto Manuk selaku pedagang plus pemikat burung, tak ketinggalan melongok kertas kecil kartu nama itu.
*****
SANGKAR yang tergantung di serambi itu ada sepuluh. Seperti biasa Marto Manuk pagi itu memilih lima buah sangkar saja. Namun, pun begitu, kesepuluh sangkar itu dilongoknya datu per satu untuk meneliti kalau-kalau ada umpan yang tinggal sedikit ataupun tumpah. Kemudian dirakitnya kelima sangkar itu pada sepedanya. Dan ketika ia melangkah keluar dengan sepedanya, tiba-tiba saja ia seperti tersandar dari mimpi. Dengan tergesa-gesa ia senderkan rakitan dagangan bersama sepedanya itu di bawah pohon sawo halaman rumahnya. Mendadak saja benaknya ingat peristiwa kemarin.
Apa saja yang kemudian dilakukan ialah mengedarkan matanya dan menajamkan telinganya ke berbagai arah. Ya siapa tahu di antara suara kicau burung di pagi itu terdengar Kencling yang menjadi buron. Berdasar pengalaman dan firasat sebagai pemikat burung ia tahu, bahwa burung piaraan yang terlepas dua tiga hari akan menjadi tutut dan turun ke tanah karena lapar tidak biasa mencari makan sendiri. Dan lagi kampung di mana ia tinggal adalah satu-satunya kampung terdekat yang masih hijau karena banyaknya tanaman rimbun yang besar-besar.
Ah, jangan tanya. Jika ia melihat burung itu, mesti didapatnya. Percuma ia sampai bergelar Marto Manuk. Yang berarti Marto Burung.
Kemudian ia berjalan dengan mendongak ke atas, mengawasi tiap ujung-ujung ranting, tiap pelepah kelapa, atau bahkan gerumbul yang rendah, kalau-kalau burung buruannya ada di sana. Hampir setengah jam ia lakukan itu, tapi tak menghasilkan tanda sekecil pun akan keberhasilannya. Dengan kecewa, ia kembali mendapati dagangannya.
“Kang.”
Tiba-tiba saja Dirsan adiknya yang tinggal di ujung desa dekat sawah telah ada di belakangnya.
Ee, kadingaren. Sepagi ini kamu kemari, Ada perlu penting?” sambut Marto Manuk sambil mengajak adiknya itu duduk pada sebuah lincak di emperan.
“Soalnya saya takut Kang Marto telah berangkat ke pasar.”
“Lha iya, ada apa?”
“Saya dapat burung, Kang. Perkutut.”
Dirsan dengan hati-hati mengeluarkan binatang temuannya dari kantung gandum yang digenggamnya.
“Ini,” katanya kemudian.
SEKETIKA tersirap darah Marto Manuk ketika melihat burung di tangan adiknya. Oa melotot seperti orang bengong. Tak pelak lagi, burung sebagus di tangan adiknya itu bukan burung sembarangan. Keyakinannya timbul, ini mesti si Kencling jang jadi buron.
“Coba lihat,” kata Marto Manuk sambil mengulurkan tangan. Binatang itu pun segera berpindah tangan.
Ketika ia mengamati cucuk, ules, maupun kaki burung itu, keyakinan Marto Manuk semakin bertambah. Terdorong oleh jiwa bisnisnya, muncullah seribu akal untuk menguasai burung itu. Terbayang sudah tumpukan puluhan ribu dua ratus lembar di depan matanya. Dan rasanya jalan ke arah itu sungguh mulus. Dirsan adiknya tidak tahu-menahu soal burung.
“Maksudmu burung ini mau kamu jual?” tanya Marto Manuk dengan nada datar untuk menyembunyikan perasaannya. Namun, tak urung degup jantungnya makin memacu.
“Tidak, Kang,” sahut Dirsan. “Soalnya, entah mengapa, rasanya saya jatuh hati pada burung ini begitu menangkapnya. Aku ingin memeliharanya, Kang.”
Sesuatu terasa mengganjal di dada Marto Manuk. Ia menghela nafas. Diputarnya benaknya untuk mencari seribu akal bulus. Tapi, dalam singkatnya waktu, ia begitu sulit untuk menemukannya. Maka yang terjadi adalah luapan sedikit amarah tanpa disadari.
“Lalu apa maksudmu membawa burung ini pagi-pagi ke mari?” tanya Marto Manuk sengol. Dan memang sengol sungguhan. “Mau pamer?!” Tanpa sadar Marto Manuk menampakkan tidak senangnya.
“Ah, bukan begitu, Kang.” Dirsan merasa serba salah. “Akang kan ahli burung. Saya Cuma mau tanya, burung ini bagus apa tidak, bagaimana kalau sekiranya kupelihara.”
“Ah, orang macam kamu nggak usah neka-neka pelihara burung segala. Jangan jangan binatang itu malah mati karena kau lupa memberi makan. Kan menyiksa namanya,” sergah Marto Manuk menyanggah keinginan adiknya.
DIRSAN tepekur. Boleh jadi akangnya ini menilai burung temuannya cukup berharga. Segala jawaban yang diberikannya serba sengol, tak enak. Dan terbitlah di hati Dirsan untuk menjajaginya.
“Semisal dijual, Akang berani membayar berapa?”
Wajah Marto Manuk berubah seketika. Di dadanya gemuruh oelh degup jantungnya yang kian memacu. Senyumnya mengambang.
Senyum bisnis. “Kemarin kubeli juga burung macam punyamu itu dua puluh lima ribu, untukmu hitung-hitumh membantu saudara ku bayar tiga puluh ribu.”
“Wah, Akang berani tiga puluh ribu? Kalau begitu, burung ini cukup bagus ya, Kang? Saya jadi lebih berhasrat untuk memeliharanya. Maaf, Kang, Saya sungguh tak bermaksud menjualnya. Lha wong barang temuan, kok dijual.” Jawaban Dirsan yang demikian itu di luar dugaan   akangnya. Wajah Marto Manuk menegang. Menahan marah dan kekecewaan. Ia merasa tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Ia menghela napas. Ia sungguh tak mengerti mengapa adiknya ini menolak kebaikan yang ia berikan. Tiga puluh ribu sebenarnya amat berarti bagi adiknya, yang Cuma buruh tani.
Sementara tangan kanan Dirsan mengembang manolak tiga lembar puluhan ribu, dan tangan kirinya meminta burung itu kembali. Dan saat burung itu kembali ke tangan adiknya lenyap pula bayangan dua juta di mata Marto Manuk.
“Oh, ya Kang. Burung ini katuranggan-nya apa?” tanya Dirsan kemudian.
“Ah, persetan dengan katuranggan burungmu itu. Aku telah kehilangan waktu percuma dengan burungmu. Seharusnya aku telah sampai di pasar dan dapat uang!” sengak jawaban Marto Manuk.
Marto Manuk melangkah panjang menuju sepedanya. Sedangkan, Dirsan pulang dengan senyum puas karena yakin perkutut temuannya itu bukan burung sembarangan.
TAPI, bukan Marto Manuk namanya jika ia putus asa sampai di situ. Ia telah dikenal begitu sabar ketika sedang memikat burung. Selama dalam perjalanan benaknya terus mancari daya upaya. Dan saat ia membelokkan sepedanya di pintu pasar, sebuah akal bulus mencul di benak Marto Manuk. Katuranggan, Ya Katuranggan. Aku harus cepat-cepat menemui Wagiyo!
“Kita ada objek besar,” bisik Marto Manuk sesaat setelah sampai di kios Wagiyo.
“Nggak usah mimpi. Kita pedagang burung, bukan pemborong. Mana ada objek besar?” Wagiyo tak acuh sambil menyulut rokoknya.
“Kalau saya bilang Si Kencling yang lepas kemarin, apa itu bukan objek besar?”
“Ya, kau melihatnya, Kang?”
“Bukan Cuma itu, malah sudah dalam kurungan sekarang.”
“Hah?” Wagiyo terkejut. “Tidak percuma orang marabi sampeyan Marto Manuk.” “Saya belum selesai ngomong. Si Kencling sudah ada dalam kurungan, tapi bukan kurunganku!”
“Oh, ya, ya. Lantas di mana sampeyan melihat?”
“Dalam kurungan Dirsan, adikku”. “Wuih, bagus. Dia kan nggak tahu-menahu soal burung?”
“Bagus dengkulmu.” Marto Manuk menjawab mangkel. “Saya perlu nyambat kamu. Kita joint.”
Wagiyo tertawa ngakak. Dalam perasaannya, kawan sekerjanya ini ada-ada saja. Namun, ia tentu saja tak menolak tawaran berduit itu, “Bagaimana?” tanyanya kemudian.
Marto Manuk lantas bercerita panjang lebar mengenai peristiwa tadi pagi di rumahnya. Komplet, sampai dengan masalah Katuranggan yang masih tersisa. Dan memang Katuranggan itulah yang kini sedang mereka olah.
“Nanti sore kau ke sana. Katakan saja Katuranggan-nya rajapati. Terangkan apa artinya serta bujuk agar ia mau menjualnya saja.
“Baik, Kang. Lantas jika ia masih menolak?”
“Itu bagian saya. Saya akan membujuk lewat isterinya. “Hebat otak sampean. Memang perempuan paling mudah ditakut-takuti...” kata Wagiyo puas sambil menepuk-nepuk pundak rekannya.
Jam tujuh sebelum ke pasar, Marto Manuk telah siap. Ia ingin segera ke rumah Dirsan Adiknya untuk melihat hasil karyanya. Dan ketika melangkah ke luar, seseorang telah berdiri di muka pintu rumahnya.
“Oo, Santayib. Ada perlu apa?”
“Lho sampean kok sudah siap-siap. Ke pasar?”
“Tidak, saya berniat ke rumah Dirsan.”
“Lho, sampean sudah tahu, to?”
“Tahu apa?”
“Dirsan adik sampean itu meninggal.”
“Yang bener kamu ngomong!” Marto Manuk setengah berteriak karena terkejut. Napasnya memburu. Ia berharap apa yang didengarnya itu Cuma dalam mimpi.
“Bener, Kang. Saya ke sini disuruh Wak Kasim Mertua Dirsan memberi tahu hal ini,” Santayib meyakinkan. “Ini semua gara-gara perkutut,” sambung Santayib. “Perkutut?”
“Ya, Wagiyo kawan sampeyan itu sudah memperingatkan bahwa perkutut temuannya itu katuranggan-nya rajapati. Berbahaya. Kabarnya Cuma orang berpangkat yang sanggup memeliharanya. Kabarnya malah sampean telah menawar tiga puluh ribu...”
“Isterinya sangat percaya sama omongan Wagiyo. Sepulangnya dari itu, si Pinah, ipar sampean itu bersikeras agar menjual saja burung itu. Dirsan tidak memperbolehkan. Terbawa oleh ketakutan yang makin memuncak binatang itu dilepas si Pinah tadi malam. Tapi, rupanya burung itu berjodoh dengan Dirsan, terbukti pagi harinya binatang itu tidak terbang jauh. Burung itu bertengger di pucuk bambu dekat pohon kelapa, di depan rumahnya. Dengan membawa kemarahan, Dirsan memanjat pohon kelapa itu untuk mendapatkan burung itu kembali. Dan itulah, karena begitu bernafsunya ia pada burung itu hingga ia terpelesat dan jatuh.”
“Oh, Astaghfirullah,” desis Marto Manuk tertahan.
Tiba-tiba, terasa ada sebuah beban, yang amat berat menimpa pundak Marto Manuk. Ia membayangkan kelima kepodakannya yang merengek, iaprnya yang meraung-raung dan menjadi janda. Oh, semua itu karena keserakahannya. Ia sempatkan mendongakkan wajah ke berbagai arah.
Katika orang-orang sibuk memandikan mayat, terdengar suara anggung perkutut begitu mempesona. Namun, Cuma Marto Manuk yang matanya jelalatan. Di pucuk trembesi, ia melihat Kencling, burung buron itu bertengger dengan angkuhnya.
(Dikutip dari kumpulan Cerpen Pelajaran Mengarang)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar